Talibanisasi Asia Tenggara
Ini adalah judul buku paling baru Bilveer Singh, guru besar madya ilmu politik di Universitas Nasional, yang pernah menulis karya tentang Presiden BJ Habibie. Judul lengkapnya, The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on Terror to Islamist Extremists (
Judul buku ini dan substansinya bisa menyesatkan; karena pengarangnya menggunakan kacamata kuda dan bahkan kaca pembesar, yang membuat hal kecil menjadi sangat besar. Dengan kacamata kuda, Singh melihat gejala ekstremisme secara satu arah, tanpa mengkaji dan memperhitungkan berbagai faktor, yang memengaruhi meningkatnya gejala ekstremisme keagamaan dan yang mencegahnya.
Ketika ada orang lain mengingatkan bahaya simplifikasi, Singh menolak. Dia menulis: While leading Indonesian scholars such as Professor Azyumardi Azra remained in denial, arguing that 'there is very limited room for radical discourses and movements in
Lebih jauh Singh menulis: Pockets of radicalism are already deeply entrenched in the region, especially in
Tidak ada penolakan (denial), bahwa radikalisme di kalangan individual dan kelompok Muslim meningkat berikutan Peristiwa 11 September 2001. Kaum Muslimin di Indonesia mengutuk peristiwa itu. Tetapi, ketika Presiden George W Bush menggempur
Tanpa harus melakukan riset serius, dapat terlihat radikalisasi bukanlah gejala umum dalam masyarakat Muslim Asia Tenggara, khususnya di
Simak kembali kutipan Singh; As the Muslims have historically been weakened in the last few centuries, many have sought to regain strength by reinvigorating Islam from within, a process referred to as tajdid and islah, meaning renewal and reform, respectively. This can be undertaken both peacefully and by force. One of the most important renewal movements in Islam is the Salafi movement, closely identified with Wahhabi Islam. Professor Azyumardi distinguishes two types of salafi movements. "Classical Salafiyyah" is seen as peaceful, while "neo-Salafiyyah" is viewed as being radical in nature. Increasingly, in
Meski kategorisasi tersebut berasal dari saya, tetapi jelas pernyataan bahwa Salafiyyah klasik umumnya damai dan sebaliknya neo-Salafiyyah adalah radikal. merupakan interpretasi Singh sendiri. Karena, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi pada akhir abad ke-18 atau Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang termasuk ke dalam Salafiyyah klasik, jelas radikal. Sebaliknya, juga terdapat gerakan neo-Salafiyyah yang bersifat damai, atau tepatnya pemurnian keagamaan. Sekali lagi, pemikiran dan gerakan Salafiyyah sangat kompleks dan karena itu orang tidak dapat secara gegabah menyederhanakannya.
Singh jelas bukan seorang ahli tentang Islam, baik Islam di Indonesia maupun dalam konteks perbandingan dengan Islam di Timur Tengah atau tempat lain di muka bumi. Karena itu, tidak mengherankan, dia tidak memahami sejarah, dinamika dan kompleksitas Islam dan masyarakat Muslim, khususnya di
Walhasil, buku ini, merupakan karya tipikal dalam security studies, yang cenderung menyodorkan apa yang saya sebut sebagai exaggerated fear, ketakutan yang berlebihan dan dibesar-besarkan. Menyebut adanya 'Talibanisasi' di Asia Tenggara, jelas termasuk ke dalam bentuk exaggerated fear tersebut. Islam di Asia Tenggara, dengan karakter keagamaan, akar historis, lingkungan sosio-kultural dan politiknya yang khas, bukanlah lahan subur bagi Talibanisasi. Karena itu, apa yang disebut 'Talibanisasi' tak lebih dari distorsi dan mispersepsi belaka.
Azyumardi Azra
REPUBLIKA ONLINE - Kamis, 10 April 2008