Bagaimana Pakaian Perempuan Aceh?
Oleh: Suraiya Kamaruzzaman
Agak susah bercerita soal keinginan rakyat Aceh atau perempuan
secara keseluruhan. Tapi saya mau cerita sedikit dari pengalaman
sehari-hari, baik saya sendiri maupun teman lain.Saya mulai dengan
pakaian adat perempuan Aceh. Saya tidak tahu apakah ada wilayah lain
di Indonesia yang pakaian adat perempuan memakai celana panjang
(bukan kain atau rok). Celana panjang itu dipakai untuk aktifitas
sehari-hari (di rumah, ke ladang atau sawah) juga pada upacara adat
seperti menjadi pengantin dan lainnya. Jadi, dulu nenek saya selalu
memakai celana panjang kemana-mana. Kalau pakaian adat, selendang
jadi penghias yang disilangkan di dada sementara rambut disanggul
tinggi ke atas tanpa penutup, baju atas lengan panjang. Kalau
melihat jenis pakaian seperti itu mengingatkan saya pada salah satu
tafsir yang menyatakan perempuan harus menutup perhiasan (dada)
bukan rambutnya.
Untuk kehidupan sehari-hari (bukan baju adat penganten) perempuan
yang sudah menikah (terutama yang di desa-desa) lebih sering memakai
selendang yang menutup kepala, ya kadang-kadang tentu saja melorot.
Tapi dulu…. tidak ada yang mendelikkan mata, atau menghardik, atau
menangkap perempuan Aceh yang selendangnya melorot. Ibu saya guru
MIN (sekolah tingkat SD untuk agama Islam), sekitar 30 tahun Beliau
mengajar, pakaiannya sudah mulai ikut model nasional. Ya kebaya,
kain batik dan selendang yang kadang-kadang melorot itu. Ibu
terlihat sangat cantik dan anggun. Tidak ada yang melempar kepalanya
dengan telor atau tomat, ketika selendangnya melorot kebahu dalam
perjalanan ke sekolah (Ibu saya selalu jalan kaki ke sekolah karena
hanya berjarak 500 m dari rumah). Melempar kepala perempuan dengan
tomat atau telur terjadi di Aceh mulai penghujung tahun 1999, ketika
isu penerapan Syariat Islam mulai digulir oleh pemerintah di
Oh ya, sekitar 500 m di belakang rumah saya ada sungai, namanya
Krueng Aceh. Biasanya ibu-ibu nyuci pakaian di sungai itu. Waktu
kecil, saya suka ikut ibu, mandi dan berendam di air sungai,
menemani ibu.
diantara mereka yang hanya memakai kain sarung sebatas dada. Tentu
saja kain sarung itu basah, melekat dan memperlihatkan bentuk tubuh
perempuan dewasa. Setiap sore, pinggiran sungai itu juga dilewati
laki-laki, yang memandikan kerbau, yang menyabit rumput dipinggir
sungai untuk makanan ternak, atau menyiram tanaman tembakau. Tidak
ada laki-laki yang mengintip atau datang nongkrongin atau
memelototin perempuan di sungai, tidak ada laki-laki yang komplen
dan mengatakan perempuan "membangkitkan nafsu", tidak pernah terjadi
kasus perkosaan terhadap perempuan. Asal tahu aja, ada sebagian
perempuan di desa sekitar, asal pergi kesungai dan menjunjung kain
di kepala untuk di cuci, biarpun rumahnya melewati jalan raya,
biarpun jaraknya sampai 500 m dari sungai tetap aja dari rumahnya
berangkat hanya dengan memakai kain sarung sampai ke dada (seluruh
bahu terbuka). Tidak ada yang komplen, tidak ada peraturan kampung
baik formal maupun informal yang melarang, karena semua orang tahu,
mereka mau ke sungai. Nyuci. Tapi saya belum pernah melihat
perempuan pergi pesta dengan hanya kain sarung seperti ke sungai itu.
Tahun 1999, ketika saya mendampingi ibu-ibu korban konflik di
kampung-kadang di Pidie, kadang2 saya menginap.
yang tidak ada sumur. Kalau mandi, perempuan punya wilayah sendiri,
laki-laki punya wilayah sendiri di sungai. Tidak ada yang ngintip
perempuan, tidak ada pula yang memperkosa. Sampai suatu ketika
tentera masuk, melakukan operasi dalam ragka mencari GAM, mulailah
perempuan satu persatu jadi korban perkosaan.
Jangan salah sangka, walaupun kalau ke sungai pakaian seperti yang
saya sebut di atas dan tidak berjilbab, di kampung saya, kampung
sekitar sampai satu kabupaten (Aceh Besar) semuanya memeluk Islam.
Semua rajin sholat, mesjid penuh terutama kalau magrib, dan bulan
puasa tentu saja. Semua rajin membayar zakat, membantu fakir miskin,
berpuasa. Yang kaya pada naik haji, tidak menjahati orang, tidak
menipu, tidak maling dan tidak melakukan korupsi. Laki-laki asal
hari Jum'at pasti shalat Jum'at, walaupun tidak dirazia oleh polisi
syariah (oh ya, perlu pula dicatat bahwa waktu itu belum ada polisi
Syariah). Selain itu, setiap malam Jum'at ada wirid yasin ibu-ibu
yang dilakukan bergilir dari rumah ke rumah. Juga ada pengajian
mingguan dengan mengundang ustaz ke Mesjid. Nah, itulah Islam yang
saya kenal waktu kecil. Indah, damai. Apakah kami bukan Umat Islam
yang baik? Siapa yang berani mengatakan kami bukan umat Islam yang
baik karena tidak mengenal jilbab atau tidak menutup kepala? Siapa
yang berai bilang "sayalah yang terbaik", karena telah memakai
jilbab?
Jilbab? Mulai muncul satu-satu di awal 80-an, dipakai oleh mahasiswi
Unsyiah. Kalau IAIN, menurut peraturan Universitas, perempuan harus
memakai baju kurung dan berkerudung. Tapi banyak mahasiswi IAIN saat
itu hanya memakai baju kurung dan berkerudung ketika kuliah saja,
peraturan kampus. Kalau pergi ke pasar atau jalan-jalan di rumah,
kepantai ya mereka mengenakan baju biasa saja. Kira-kira panjangnya
selutut dan tidak menutup rambut.
Coba lihat gambar pahlawan perempuan Aceh, atau ratu-ratunya . Tidak
ada yang memakai jilbab. Apakah mereka kurang Islami? Banyak catatan
yang menuliskan betapa mereka memiliki ilmu agama yang sangat dalam,
para ratu malah didukung oleh ulama besar.
Tapi ada argumen menggelikan dari Farhan Hamid (anggota DPR RI dari
Aceh), dalam sebuah seminar di Jakarta Farhan mengatakan bahwa yang
ada adalah lukisan para ratu, bukan foto. Dulu dilukis oleh orang
asing yang datang ke Aceh. Boleh jadi dia melukis sesuai dengan
keinginannya, bukan kenyataan. Coba deh dipikir-pikir kalau ada
perempuan memutuskan untuk memakai jilbab setiap saat di publik
(misalnya Mbak Musdah Mulia), apakah Beliau mau dilukis dalam
kondisi tidak berjilbab? Minimal Cut Nyak Dien ada fotonya, ternyata
juga tidak berjilbab.
Baru-baru ini saya lihat foto-foto mantan ibu-ibu dan termasuk ketua
Darmawanitanya (istri Gubernur) di gedung PKK. Foto istri gubernur
periode dulu-dulu tidak ada yang pakai jilbab. Ada yang pakai
selendang. Ada yang cukup selempang di bahu saja. Yang pakai jilbab
justru Marlinda (Istri Gubernur Abdullah Puteh yang sekarang di
penjara karena kasus korupsi), karena zaman Abdullah Puteh jadi
gubernur SI diterapkan.
Sekarang ada lukisan baru di Pendopo Gubernur. Laksamana Keumala
Hayati dengan pasukan Inong baleenya lagi berperang (memakai pedang)
berhadapan dengan Belanda. Yang cukup memprihatinkan saya, lukisan
itu menggambarkan peristiwa terjadi yang di abad 16. Anehnya sudah
berjilbab. Tentu bisa ditebak bukan? Saya yakin Keumalahayati
aslinya tidak berjilbab. Tetapi kenapa di lukisan itu dijilbapin.
Mengerikan, penghapusan sejarah.
Sekarang, kalau polisi Syariah lagi razia jilbab, sangat sering
perempuan yang memakai celana panjang (terutama jean) ditangkap,
walaupun dia menggunakan jilbab yang lebar. Saya pernah melihat
langsung ketika razia di kota Meulaboh. Pernah juga mendengar
testimoni seorang mahasiswi Fakultas Hukum dalam sebuah worskop. Ia
sangat marah. Gara-gara razia jilbab, dia terlambat mengikuti ujian.
Mahasiswa itu juga kena "makian" dan "ceramah" karena dia
mempertanyakan ATAS DASAR APA DIA DITANGKAP. Menurut qanun "harus
berbusana muslim dan muslimah." Tidak ada penjelasan apapun yang
dimaksud dengan busana muslim dan muslimah itu kayak apa. Mahasiswi
itu memakai jean, kemeja gombrong sampai lutut dan jilbab besar
sampai lutut (mirip mukena untuk shalat). Usut punya usut rupanya
jean-nya yang jadi soal…. Nah, kan Pak polisi yang merazia lupa,
pakaian adat perempuan Acehkan pake celana panjang….
Tapi razia jilbab itu kan urusan "orang kota". Di kampung-kampung
masih banyak yang tetap seperti dulu. Aslinya ya begitu. Tak
berjilbab. Akhir tahun 2006 saya ke kabupaten Abdya, masih menemukan
ibu-ibu yang menjunjung kain cucian di kepala menuju sungai hanya
dengan kain sarung doang. Persis dikampung saya ketika saya kecil
dulu. Karena sungai itu juga dijadikan sebagai tempat wisata, saya
sempat celingak celinguk juga… Ada polisi syariah enggak ya? Jangan-
jangan entar nenek-nenek itu ditanggap. Boro-boro memakai jilbab,
baju aja kagak dipakai, cuma sarungan doang, wong mau nyuci kok…
Penulis: Direktur Flower Aceh & Dosen Universitas Syiah Kuala Aceh