Bersatulah Rakyat Aceh !
Oleh Aguswandi, SH., MA.
Ibnu Khaldum adalah seorang filsuf Islam ternama. Spanyol bahkan masih memperingati 600 tahun kelahirannya. Sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut karyanya sebagai terbesar untuk sejenisnya yang pernah diciptakan oleh pemikiran seorang manusia sepanjang masa dan sepanjang sejarah (the greatest work of its kind that has ever yet been created by any mind in any time or place). Anthropolog menyebut konsep politiknya adalah sebagai yang terbaik di dalam sejarah pemikiran teori politik.
Apa yang ditemukan Khaldum sehingga ia dicari dan dipuja banyak orang? Bahkan ketika Genghis Khan sedang mengepung Damaskus, ia menunda perang karena ingin bertemu dengan Khaldum dan memintanya untuk memberikan kuliah teori sejarah untuk Gengis dan pasukannya yang dikenal kejam dan sangat tirani.
Jawabannya adalah Khaldum menemukan suatu kunci untuk Sejarah. Suatu kunci yang menjelaskan inti dari bangkit atau bahkan jatuhnya suatu masyarakat atau suatu bangsa. Kunci ini ditemukan dalam karya monumental Ibnu Khaldum berjudul Muqadimmah: An Introduction to History.
Di Muqadimmah, Khaldum menjelaskan kunci sejarah itu sebagai Asabiya. Asabiya adalah konsep solidaritas suatu kaum. Asabiya suatu kaum adalah kemampuan suatu kaum untuk bersatu secara kuat, untuk saling bekerjasama, yang akan menyebabkan memperkuat kemampuan kaum tersebut melindungi diri sendiri dan memaksakan kehendak terhadap musuh-musuhnya. Khaldum menyebutkan semakin tinggi Asabiya suatu kaum semakin kuat pula kemampuan kaum itu untuk mengalahkan musuh-musuhnya yang Asabiyahnya rendah.
Ini karena kekuatan dan kemampuan suatu kaum hanya diperoleh dengan mutual affection (saling mengasihi) dan mau mengorbankan diri untuk berperang dan mati untuk satu sama lain. Karenanya Khaldum menyatakan suatu bangsa hanya mungkin diorganisir melalui suatu kelompok inti yang punya kualitas Asabiya yang tinggi. Tanpa sikap Asabiya tersebut maka bangsa dan kaum tersebut adalah lemah. Kaum yang punya sikap Asabiya tinggi, walaupun mereka kalah sekalipun, tetap akan bisa eksis dan terus mengorganisir diri untuk melawan.
Kunci sejarah melalui konsep Asabiya Ibnu Khaldum adalah pelajaran penting yang harus dipelajari oleh Aceh. Kita harus memegang kunci ini. Tidak ada jalan lain bagi rakyat untuk bangkit dan menjadi kuat sebagai suatu kaum kecuali dengan bersatu dan bersolidaritas antar sesama. Masa depan Aceh akan kuat dan bisa bangkit kalau kita bergerak bersama-sama, bukan hanya sendiri-sendiri. Kalau dalam istilah Kaisar Jepang, suatu masyarakat yang hati dan jantung jutaan rakyatnya berdetak pada saat yang bersamaan.
Konsep Asabiya menjadi sangat penting apalagi mengingat masa transisi Aceh saat ini sesudah perang. Ada satu perbedaan antara masa perang dan paska perang. Perang selalu melahirkan common enemy (musuh bersama). Musuh bersama melahirkan suatu desakan untuk mempersatukan suatu kaum dan membangun solidaritas antar sesama. Ketika ada konflik dan pertentangan dengan yang lain, maka ‘kita’ dan ‘mereka’ lebih jelas. Asabiya muncul kuat dalam masyarakat yang dihadapkan pada ancaman dari luar.
Tapi paska perang, situasi menjadi berbeda, musuh bersama sudah hilang, ancaman dari ‘mereka’ tidak ada lagi, akibatnya solidaritas menjadi renggang, semua menjadi sendiri-sendiri. Pilihan untuk memperkaya diri, memikirkan hanya nasib diri sendiri, mengekploitasi situasi untuk kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama adalah suatu kenyataan baru.
Dan ketika ini berlansung maka masyarakat tersebut menjadi lemah. Ada sebagian dari mereka yang menjadi kaya raya dan berkuasa, tapi semua itu adalah kuasa dan kekayaan yang semu. Semu karena secara ‘kaum’ masyarakatnya menjadi lemah dan miskin. Hanya secara personal, segelintir saja yang kaya diatas kemiskinan kaumnya yang lain.
Ini juga semu dan berbahaya karena hanya menimbulkan pertentangan antar sesama, antara mereka yang punya dan mereka yang tidak punya, antara yang berada di kelas ekonomi bawah dan mereka yang berada di kelas ekonomi atas. Solidaritas dan semangat membangun masa depan bersama menjadi pudar. Sebagian menjadi sangat makmur, sebagian hidupnya tetap miskin. Banyak yang menjadi putus asa. Faksi-faksi berbagai ragam muncul. Kemunculan faksi bukan karena munculnya demokrasi, bukan pula karena adanya suatu taktik atau agenda perubahan baru bagi perjuangan bagi rakyatnya, tapi lebih dari pada opportunisme situasi.
Ketika suatu gerakan secara kolektif untuk suatu agenda bersama, dan suatu kerjasama yang erat dan saling berbagi adalah tinggal cerita masa lalu dan nostalgia. Maka pada saat itu masyarakat tersebut secara kaum menjadi lemah.
Karenanya Aceh harus segera mengintrospeksi diri saat ini. Kita sedang memasuki masa transisi. Pertanyaan apakah kita sedang memperlemah Aceh karena hanya memperkuat diri sendiri? Kalau pilihannya adalah kedua, mungkin untuk sementara segelintir person ini akan kuat, tapi pada jangka lama ia akan juga menjadi lemah seperti kaumnya. Pilihannya adalah sebenarnya tidak lain, tapi menjadi kuat secara diri sendiri, tapi pada saat yang sama juga memperkuat kaumnya.
Rakyat Aceh harus fokus pada masalah-masalah besar membangun masa depan Aceh secara bersama-sama. Banyak masyarakat gagal dalam proses transisi. Di Timor-Timor mereka telah gagal. Rakyat Timor bahkan merdeka dan lepas dari Indonesia. Ketika dulu melawan musuh bersama, walaupun mereka kecil, tapi kuat, disiplin dan bersolidaritas, sehingga sulit untuk bisa ditundukkan. Tapi justru ketika ‘musuh’ pergi mereka menjadi lemah, saling berperang dan berebut kekuasaan.
Sejarah tempat lain didunia juga memberikan pelajaran yang sama. Yakni sesudah transisi, ketika musuh bersama tidak ada lagi, lawan sudah pergi, banyak kaum dan suatu masyarakat mati bukan karena dibunuhi lawan-lawannya, tapi justru mati karena bunuh diri. Bunuh diri melalui konflik sesama sendiri dan hilangnya semangat Asabiya tersebut. Karenanya bersatulah rakyat Aceh. Jadikan hati dan jantung empat juta rakyat Aceh berdetak secara bersamaan.
Penulis adalah Ketua Umum Partai Rakyat Aceh (PRA).
Opini ini sudah dimuat di serambi pekan lalu